Monday, April 30, 2018

Tentang Mencintai

 Dalam sebuah percakapan, aku dan saudara perempuanku membahas tentang keberanian untuk mencintai. Saat itu, dia bercerita tentang perasaannya yang ditahan terhadap laki-laki yang dia suka. Dia takut untuk mencintai. Alasannya sangat tidak enak,  karena laki-laki itu terlahir di keluarga kaya dan bisa dibilang bahagia.

 Well, kami bukan tidak bahagia. Tapi memang banyak ujian yang Tuhan izinkan terjadi di keluarga kami untuk membentuk dan memurnikan kami pribadi lepas pribadi. Secara kasap mata "banyak pergumulan". Tapi semuanya bisa kami lewati dan akhirnya mendatangkan kebaikan. Dengan proses yang belum berakhir itu, adikku takut untuk mencintai. Takut tertolak lebih tepatnya. Sekilas, seperti rendah diri.

 Saat itu dengan tegas dan yakin aku berkata, "Jika dengan keadaan kita lalu kamu tidak dicintai berarti kamu mencintai orang yang salah, jangan hidup sama dia. Jika aku jadi laki-laki, yang aku lihat adalah sikapmu terhadap setiap situasi yang kamu hadapi. Jika kamu malu, aku justru ga mau sama kamu. Jadilah dirimu sendiri. Kalau dia benar benar mengasihimu, dia akan menerimamu apa adanya. Jika dia mencari anak orang kaya, memang bukan kamu orangnya. Tetaplah lakukan yang benar. Jangan menyalahkan keluargamu, kamu ada untuk mendukung dan mengasihi keluarga."

 Saat itu saudaraku menangis. Aku merasakan bahwa hatinya sakit. Seperti tidak bisa menerima kenyataan terlahir dikeluarga yang biasa biasa saja dan banyak diproses Tuhan.

 Mencintai adalah pilihan dan menurutku setiap orang berhak untuk itu. Berhak memilih siapa yang mau dia cintai, siapa yang mau dia senangkan, dia perhatikan, dia pikirkan setiap hari. Berhak memilih bertahan atau berhenti. Berhak untuk dicintai juga.  Siapa yang tidak mau dicintai? Dicintai itu enak, indah, daebak. Dicintai itu lebih dari apapun yang aku tau. Cinta tak terbatas. Bisa dilakukan lewat apapun dan tidak bisa dinilai dengan apapun.

 Saat ini aku seperti merasakan sedikit takut yang sama. Mungkin tidak sama persis. Tapi aku takut mencintai juga. Takut jika dengan cinta ini, aku akan sakit. Seperti dulu.

 Aku punya cinta dan dengan cinta ini aku yakin aku mampu melakukan hal-hal yang besar yang mungkin belum pernah aku pikirkan. Bukankah cinta adalah kekuatan yang paling besar yang pernah ada?

 Tapi, siapa yang tau hingga kedalaman hati selain Tuhan? Tidak ada kan?! Even dia yang aku cintai, tidak tau seberapa mampu aku untuk mencintainya.

 Hidup di dunia yang sekarang, mata melihat mata namun tak mampu saling mengerti lagi. Mata hanya mampu melihat panjang bulu mata extensionmu, warna rambut, merk tas, hape, jam, nama belakang, siapa papa dan mamamu. Mampukah mata melihat jauh kedalammu? Kupikir tidak! Lalu dengan mataku, aku tidak melihat semua itu ada padaku. Aku tidak punya apa apa selain hati dengan cinta.

 Sebelum mencintai orang lain bukankah kamu harus mencintai dirimu terlebih dahulu? Dan jangan demi cinta, kamu mengorbankan kebahagiaanmu. Karena cinta yang sungguh sungguh adalah bahagia bersama-sama.

 Pernah, aku mencintai orang yang salah. Menurutnya pacaran dewasa adalah pacaran dengan hubungan intim. Dia bahkan menyebutku kekanak-kanakan karena tidak menurutinya. Lihatlah, kebenaran seperti dibolak balikkan. Bukankah semakin dewasa, seharusnya semakin mampu kamu mengendalikan diri untuk tidak bercela? Bukankan cinta yang dewasa tau bagaimana mencintai dengan benar? Jika pacaran dewasa adalah pacaran dengan "sentuh sentuhan", biarlah aku disebut 'anak-anak' tapi dikasihi dan mengasihi dengan cara yang benar.

 Pernah lagi aku menjalin hubungan dengan pria dewasa - menurut mata dunia, mencintaiku tulus, tapi sayang orang tuanya mencari menantu anak orang kaya, punya jabatan tinggi, atau minimal yang hidupnya dijamin negara. Oh, Tuhan. Inikah hidup? Ya. Dunia tidak mampu melihat siapa yang menjamin hidupku. Karena Dia tidak seperti negara yang dapat diukur.

 Aku berkali kali sakit karena pilihanku mencintai. Tuluspun akan menangis ketika dia ditolak, dihina atau dipermainkan. Jangan bilang "kalau tulus tidak berharap apapun" lalu seenaknya mempermainkan ketulusan itu. Ya! Tulus berasal dari hati, yang mungkin memang tidak dapat dilihat oleh matamu dan dirasakan oleh hatimu.

Aku takut mencintai. Aku terlalu mengasihi diriku sekarang. Aku tak mau dia sakit lagi. 

2 comments: