Pagi tadi sebelum aku beranjak bangun, aku mengajak Tuhan bercerita tentangmu. "Tuhan, aku kangen Tuan yang berengsek itu", kataku mengawali percakapan kami. Walaupun, aku tau Tuhan sudah tau. Tapi aku tetap ingin mengatakannya.
"Aku merindukan caranya menatapku. Indah. Percakapan - percakapan yang selalu berujung ribut. Pelukannya yang hangat. Senyumnya yang manis. Caranya merayuku. Gombalan - gombalan dahsyat. Puisi - puisi romantis. Pujian bahkan semua ejekannya."
Percakapan searah terus berlanjut. Dari tadi Tuhan hanya diam saja. Diantara percikan sinar matahari yang masuk lewat jendela, aku menutup mata dan berdoa. "Jika boleh, biarkan aku menikmatinya barang satu menit saja. Itu lebih dari cukup, Tuhan". Air mataku lalu jatuh menyentuh tanganku yang terlipat tanda memohon.
Sekejap ingatanku berbalik arah 180 derajat dan memutar semua cerita pahit yang selalu membuat aku bersyukur, kami kini tidak saling kenal lagi.
Ya, bagaimana aku bisa hidup dengan anggota keluarga yang katanya pintar-pintar itu tapi menilai sesama dari harta? Pasti tersiksa, mengingat bagaimana aku hidup sejak dulu. Aku berteman dengan siapa saja, menerima orang sebagaimana mereka ada. "Oh, terima kasih Tuhan".
Dan. Semua kenangan tadi tiba -tiba terasa basi. Yaks!
Kenangan - kenangan manis memang selalu dirindukan tapi aku belajar untuk menempatkan kenangan itu sebagai pelajaran yang manis juga. Karena pelajaran yang manis membawa kita kepada kenangan pahit agar kita tau rasa manis yang sebenarnya.
Betapa aku bersyukur, walaupun aku masih mengingat setiap kenangan manis itu tapi aku tidak berada didalamnya lagi. Karena memang banyak kenangan manis yang diciptakan dengan kebohongan tapi sedikit yang mengakuinya. Mengakui bahwa dia pembohong atau korban kebohongan.
Masa lalu adalah tempat belajar dan aku bangga aku sudah lulus sekarang. ❤
Sekejap ingatanku berbalik arah 180 derajat dan memutar semua cerita pahit yang selalu membuat aku bersyukur, kami kini tidak saling kenal lagi.
Ya, bagaimana aku bisa hidup dengan anggota keluarga yang katanya pintar-pintar itu tapi menilai sesama dari harta? Pasti tersiksa, mengingat bagaimana aku hidup sejak dulu. Aku berteman dengan siapa saja, menerima orang sebagaimana mereka ada. "Oh, terima kasih Tuhan".
Dan. Semua kenangan tadi tiba -tiba terasa basi. Yaks!
Kenangan - kenangan manis memang selalu dirindukan tapi aku belajar untuk menempatkan kenangan itu sebagai pelajaran yang manis juga. Karena pelajaran yang manis membawa kita kepada kenangan pahit agar kita tau rasa manis yang sebenarnya.
Betapa aku bersyukur, walaupun aku masih mengingat setiap kenangan manis itu tapi aku tidak berada didalamnya lagi. Karena memang banyak kenangan manis yang diciptakan dengan kebohongan tapi sedikit yang mengakuinya. Mengakui bahwa dia pembohong atau korban kebohongan.
Masa lalu adalah tempat belajar dan aku bangga aku sudah lulus sekarang. ❤
No comments:
Post a Comment