Tuesday, June 20, 2017

Sisa Cinta Kemarin Sore

 Aku masih merasakan sisa cintaku kemarin sore. Aku dan Bapa berpelukan. Aku, terkadang kehabisan cara untuk tetap mendapat perhatianNya, walaupun menurutNya dia terus memperhatikan aku. Entah apa yang salah, caraku mengenalNya atau harapanku yang terlalu besar. Karena Bapa tidak pernah salah, baik caraNya memperkenalkan, caraNya mengasihi maupun setiap yang Dia katakan.

 Seperti yang sudah aku tulis sebelumnya, mengenalNya adalah hal paling indah di hidupku. Walaupun caranya tidak selalu mudah tapi dari setiap kesulitan yang aku jalani, aku kagum akan Dia.

 Tapi, entah kenapa setiap ada kesulitan baru yang datang. Aku pasti dilanda rasa takut. Takut akan hari esok, takut kehilangan, takut dibenci, takut kekurangan, dan takut takut yang lain. Seperti beberapa hari ini. Itulah kenapa aku menulis ini.

 Kesulitan sering membuat aku mempertanyakan siapa Bapa. Berulang ulang. Dan jawabannya selalu sama. Sama seperti jawaban kesulitan pertama yang aku alami dulu. Ah, bodohnya aku. 

 Kali ini jangan bertanya lagi. Simpan aja pertanyaanmu. Percaya saja. Jangan khawatir. Dia tetap Bapa yang sama. Bahkan untuk menjawab kesulitan kesulitan yang masih ada di depan sana.

 Karena hatiku terus menguatkan dan berusaha untuk percaya, pikiranku mulai mengalah. Dia memberikan setiap pertanyaannya kepada hatiku. Kini kepalaku kosong atas pertanyaan pertanyaan bodoh itu, hatiku menyimpannya dan mengeluarkannya saat aku bercerita kepada Bapa. Ya, sama seperti firman yang berkata bahwa dalam duduk tenang terdapat kekuatanku. 

 Saat kepalaku penuh pertanyaan dan ketakutan, aku bahkan tidak dapat berdoa. Oleh karena itu hatiku dengan lapang menerima pertanyaan pertanyaan itu, bahkan memaksa pikiranku untuk memindahkan apa yang sanggup disimpan oleh hatiku. Tidak semuanya. Ya! Sekarang aku selalu berdoa buat apa apa yang ada dihatiku, bukan dipikiranku. Hidup mengajar aku melakukannya. 

 Kemarin saat Bapa memelukku, aku terus berusaha mendapat perhatiannya. Aku berkata bahwa nanti di sorga aku ingin memiliki drum dan memainkan detak jantungNya, hanya agar Dia memelukku lebih kencang. Telingaku menempel tepat di dadaNya, di depan jantungNya dan menikmati kasihNya. 


Monday, June 19, 2017

Sembilan Belas Sore

Hari ini ada Bapa, hidup dan aku. Sudah dari tadi kami hanya saling bertatapan, tanpa bercerita sedikitpun. Padahal kepalaku penuh tanda tanya.

Aku ingin memulai pembicaraan namun sepertinya aku kesal. Tak sanggup untuk tidak marah. Dan ku harap hidup tau, karena Bapa sudah pasti tau. 

Kali ini aku merasa Bapa dan hidup adalah sahabat. Mereka bekerja sama untuk menguji, memurnikan, menghukum, membahagiakan, memberkati, memberi pelajaran dan yang lainnya. Dan aku, bisa kah menjadi team? Team yang solid. Sepertinya tidak. 

Sejak waktu itu, aku selalu berhati hati saat ingin berkata sayang. "Aku sayang kamu" kepada siapapun. Karena mempertanggung jawabkan kata itu sulit menurutku. Dan harapan yang ditimbulkannya dapat berakibat kekecewaan yang begitu besar. Aku pernah mengalaminya. 

Saat itu hidup mengajakku belajar bahwa pengecut dan keparat keparat cinta benar benar ada. Orang yang berkata "I love you" jutaan kali bahkan hilang entah kemana. Panggilan sayang yang diucapkan setiap memanggilku seperti rekayasa. Kebohongan besar. Sekarang dia bahkan lupa siapa aku, mungkin. 

Hari ini hidup mengajakku belajar untuk mempertanggung jawabkan kata sayangku yang kemarin aku ucapkan. Dia mengujiku. Karena sesungguhnya kesetiaan itu tidak tergantung situasi dan kondisi. Dalam kondisi sesulit apapun aku ingin terus sayang pada sayangku yang kemarin. Terlebih, sebelumnya aku sudah dikecewakan. Aku tidak mau orang yang aku sayang kecewa. Tapi, berat. Itu saja. 

Bapa, bukankan Dia tau segalanya? Jadi keparat yang waktu itu ada, Bapa sudah tau? Dan Dia izinkan? Lalu sayangku yang hari ini harus diuji atas rencana siapa? Haruskah aku belajar dengan air mata? Lalu di depan ada apalagi? 

Aku mengasihi Bapa. Sungguh. Dan sayangku ini telah, (mungkin) sedang dan akan diuji. Ujiannya (pasti) berat. Aku bahkan tak mampu menuliskannya. Tapi, aku pasti kuat. Bapa (kan) tau.

Aku memutuskan untuk memulai pembicaraan. Aku memandang Bapa dan cuma berani bilang "Bapa, peluk dong". Hidup hanya tersenyum.